30 August 2009

Ghibah


Seseorang rekan tadi sore waktu sehabis sholat maghrib mengajukan pertanyaan kepada saya. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang kaitannya dengan masalah hati. Memang tadi inti pertanyaanya adalah masalah ghibah, ya sesuatu yang kdg kita sering melakukannya tanpa sadar padahal hukumnya adalah dosa besar. Dalam Al Qur'an surat Al Huujurat ayat 12 Alloh swt berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Pengertian Ghibah

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26).

Ghibah yang dibolehkan

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Semoga Alloh Swt menjauhkan kita dari ghibah. Amiin....
(disarikan dari bebagai sumber)



No comments:

Post a Comment